Di mana aku? Apa yang terjadi denganku?
Hal pertama yang dirasakan oleh Ginny ketika tersadar dari pingsannya adalah keheningan yang mencekam. Ia mencoba untuk bangkit, namun ternyata upayanya itu membutuhkan perjuangan ekstra keras. Akhirnya ia berhasil setengah mengangkat tubuhnya dari posisinya yang terbaring di lantai, lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Segala sesuatu di sekitarnya nampak remang-remang dan berpendaran cahaya suram kehijauan. Belasan pilar batu berbelit ular pahatan menjulang tinggi di kanan-kirinya, berjajar dalam ruangan sangat panjang yang seakan tak berujung…
Di mana aku? Tempat apa ini?
“Rupanya kau sudah sadar, Ginny Weasley.”
Ginny tersentak kaget, langsung menolehkan wajahnya ke arah asal suara. Dan dilihatnya, satu sosok seorang remaja pria berusia mungkin sekitar enam belas tahun—sedang berjalan (atau melayang…?) perlahan menghampirinya. Tepi-tepi tubuhnya nampak mengabur aneh—sesuatu yang awalnya tidak terlalu diperhatikan oleh Ginny, karena ada hal-hal lain yang lebih mendesak yang jauh lebih ingin diketahuinya pada saat ini.
“Siapa kau?” Ginny bertanya langsung.
“Kau pasti sudah tahu siapa aku,” sosok itu kembali berkata, seraya mengulurkan tangan kanannya, memperlihatkan kepada Ginny sebuah buku tipis berukuran mungil bersampul warna hitam kumal yang berada dalam genggamannya.
“Kau…” bisik Ginny akhirnya, menatap sosok di hadapannya dan buku mungil bersampul hitam itu berganti-ganti. “Kau…?”
***
Ginny membelalakkan matanya lebar-lebar. Baru saja sedetik yang lalu, ia menuliskan namanya pada lembaran pertama buku hariannya, detik berikutnya, tulisannya menghilang, seakan tintanya terhisap ke dalam kertas. Belum pulih rasa keheranannya, deretan tulisan berwarna emas terang mendadak muncul, tulisan yang lain, bukan tulisan yang baru saja dibuat oleh Ginny tadi.
“Halo Ginny Weasley, namaku Tom Riddle. Senang berkenalan denganmu. Aku juga senang kau mendapatkan buku harianku ini, dan sekarang akan kuhadiahkan kepadamu. Silahkan mulai menulisi buku harian ini. Tulis saja apa pun yang kau inginkan, dan aku akan menjadi sahabatmu yang paling setia, yang akan selalu mendengarkan semua ceritamu.”
Beberapa saat kemudian, tulisan itu pun lenyap.
Ginny ternganga menatap lembaran buku hariannya yang kembali kosong sama sekali, namun keraguannya hanya sekejab. Diraihnya pena bulunya, dan ia langsung menulis.
“Err… halo, Tom (boleh aku memanggilmu begitu?), oh, jadi buku harian ini milikmu? Yah, aku tidak sengaja menemukannya di antara tumpukan buku-bukuku… dan sekarang kau memberikannya padaku? Lalu apa saja yang bisa kutulis di sini?”
Jawabannya segera muncul, dan Ginny membacanya dengan penuh minat.
“Apa saja. Kau bisa menuliskan semua impianmu yang terdalam, rahasiamu yang tergelap sekali pun. Dan semua yang kau tulis akan tersimpan dengan aman. Tersimpan, Ginny, tapi tidak hilang, karena sewaktu-waktu jika kau ingin membacanya, kau bisa memanggilnya kembali. Coba bayangkan, bukankah ini sangat menyenangkan? Memiliki sebuah buku harian di mana kau bisa menyimpan segala rahasia hidupmu yang paling dalam dan dijamin aman karena tidak seorang pun yang bisa membacanya selain dirimu sendiri?”
“Keren banget,” tulis Ginny. “Tapi aku masih belum tahu apa yang mesti kutulis…”
“Well, yah, kau mungkin bisa mulai menulis tentang seorang anak laki-laki yang saat ini sedang kau sukai, seorang anak yang sangat hebat, luar biasa, dan kau sungguh tergila-gila padanya, namun sayangnya ia sama sekali tidak memperdulikanmu. Kurasa anak perempuan seusiamu pasti senang membicarakan hal-hal semacam itu, kan?”
Wajah Ginny bersemu merah. “Ah, Tom, kau ini bisa saja.”
“Seperti yang kukatakan tadi, aku pendengar yang sangat baik, Ginny.”
“Baiklah… kurasa aku bisa menulis tentang itu, tapi mulai besok saja, yah. Ini hari pertamaku di Hogwarts, dan aku capek banget, Tom. Jadi aku mau tidur dulu sekarang. Bye, Tom.”
“Oke. Selamat malam, Ginny. Selamat tidur.”
Ginny tersenyum dan menutup buku hariannya. Ia lalu bangkit meninggalkan mejanya, naik ke atas tempat tidurnya dan membaringkan diri. Tersenyum sekali lagi, Ginny meraih buku hariannya yang teletak di atas meja, mendekapnya erat-erat dalam pelukannya sampai akhirnya jatuh tertidur.
****
“Aku tidak menyangka kalau kau ternyata bisa keluar dari dalam buku harianku, Tom,” Ginny berkata, masih terus menatap sosok yang berdiri di hadapannya lekat-lekat. “Lalu kenapa kita berdua bisa berada di tempat ini?”
“Buku harianku,” lawan bicaranya mengoreksi, kelihatan tak senang. “Karena buku harian ini sebenarnya tidak pernah menjadi milikmu, Ginny. Tapi, yah, berkat kau akhirnya aku berhasil mewujudkan apa yang sangat kuimpikan selama lima puluh tahun ini… menjadi sosok manusia yang sempurna, bukan lagi sekedar memori—atau cabikan jiwa, mungkin itu istilah lebih tepatnya kalau boleh kubilang…”
Seraya terus berkata-kata, sosok di hadapan Ginny kembali berjalan mendekat. Dan Ginny memperhatikan… garis-garis tubuhnya membentuk semakin nyata, jelas, dan tegas, hingga akhirnya menjelma menjadi seorang penyihir muda seutuhnya, bertubuh tinggi jangkung dan wajah luar biasa tampan, dengan rambut hitam legam dan sepasang bola mata yang sewarna dengan rambutnya… namun entah kenapa, sama sekali tidak membuat Ginny merasa tertarik. Justru sebaliknya, ekspresi wajahnya yang bengis dan keji itu menjadikannya terlihat tak manusiawi… sekujur tubuh Ginny meremang.
“Kau masih belum menjawab pertanyaanku,” lanjut Ginny, berusaha mengabaikan detak jantungnya, yang sama sekali di luar kehendaknya—mulai dirasakannya bertalu kencang. “Kenapa kita berdua bisa berada di tempat ini? Tempat apa sih, ini…?”
Sosok Riddle tersenyum dingin. “Selamat datang di Kamar Rahasia, Ginny Weasley.”
***
Nafas Ginny memburu. Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku bisa berada di tempat ini?
Koridor panjang yang kosong, gelap, dan sunyi.
Aku seharusnya tidak berada di tempat ini! Di mana ini…?
“Hai, Ginny!”
Ginny memalingkan wajahnya ke arah asal suara yang memanggilnya. “Colin…?”
“Ginny, kau lagi ngapain di sini?”
“Aku…”
“Yah, sudahlah. Gin, kau dengar nggak suara ribut-ribut barusan? Kayaknya ada sesuatu sedang terjadi, deh. Anak-anak yang lain sudah pergi semua ke sana untuk melihatnya. Kita ke sana juga yuk, Gin!”
Ginny mengikuti teman sekelasnya itu. Seruan-seruan ramai mulai terdengar dari kejauhan. Segera saja, keduanya mencapai lokasi kejadian, menggabungkan diri bersama puluhan murid lainnya yang sudah terlebih dulu memadati tempat itu.
“Kamar Rahasia telah dibuka! Musuh Sang Pewaris, waspadalah!”
Ginny terperangah. Seperti semua anak yang pada awalnya memusatkan perhatian pada sosok kucing membatu yang tergantung di dinding, kini mereka semua mengalihkan pandangan pada barisan huruf-huruf bernada mengancam yang terpulas di atasnya. Huruf-huruf itu, Ginny mengawasi, seluruhnya dibuat oleh darah, nampak masih segar dan baru… Ginny bergidik.
“Semua murid harap meninggalkan ruangan ini sekarang juga,” suara Profesor Dumbledore menggelegar. “Semuanya, kembali ke asrama masing-masing… kecuali kalian bertiga—Mr Potter, Mr Weasley, Miss Granger…”
“Mengerikan, yah,” komentar Colin, ketika ia, Ginny, dan rombongan anak-anak yang lain berjalan berbarengan meninggalkan tempat itu. “Kira-kira siapa yang membuat tulisan itu, ya, Gin… dan apa maksudnya?”
“Yeah…”
Namun mendadak sekali, Colin Creevey menghentikan langkahnya. Wajahnya membeku menatap Ginny.
“Colin, ada apa…?”
“Ginny… ta-tanganmu…”
Refleks, Ginny melihat ke arah tangannya… dan langsung menjerit sejadi-jadinya ketika menyaksikan kedua telapak tangannya berlumuran darah merah segar…
“Tidaaaaaaakkkk….!!!”
***
Kepala Ginny bagaikan berputar. Namun seperti ada yang menyalakan lampu di dalam otaknya, akhirnya sekarang ia mengerti semuanya… bahwa, ketakutan terbesarnya saat ini—mungkin akan segera menjadi kenyataan. Nafasnya mulai sesak, seakan ada belasan tangan tak terlihat berusaha mencekik lehernya. Dan kenapa juga tubuhnya mendadak terasa lemas tak bertenaga begini? Kenapa?
“Kalau sejak awal aku tahu kau cuma ingin memanfaatkanku, tentu saja aku tidak akan sudi menulis di dalam buku harian itu,” engah Ginny. Dan sebenarnya aku pun sudah mulai mencurigainya. Itu sebabnya aku lalu membuang buku harian itu. Tapi betapa bodohnya aku malah mengambilnya lagi.
Riddle tertawa. Tawa yang melengking, dingin, dan menusuk, yang sama sekali tidak sesuai untuknya.
“Dia tidak akan datang,” kata Ginny berani.
“Oh, tentu saja dia akan datang,” Riddle menyeringai. “Seorang anak yang sangat hebat, pemberani, dan setia kawan seperti dirinya pastinya tidak akan membiarkan adik perempuan sahabat terbaiknya dalam bahaya, kan? Seluruh isi buku harianku penuh kau tulisi dengan namanya—Harry Potter, lagi, dan lagi… sungguh, itu membuatku sangat muak, tapi lebih dari cukup untuk mendapatkan semua informasi yang kubutuhkan tentang dirinya. Dan apakah dia memang seistimewa seperti yang kau dan semua orang selalu dengungkan? Aku akan segera tahu jawabannya sebentar lagi.”
“Dia sudah pernah mengalahkanmu sekali, apa tidak mungkin dia akan mengalahkanmu lagi kali ini?” Ginny berbicara lagi, asal saja, di antara gelombang demi gelombang kepanikan yang semakin deras melandanya. Tubuhnya terasa benar-benar lemas sekarang, memaksanya untuk ambruk kembali ke lantai. Dicobanya untuk menggerakkan salah satu anggota tubuhnya, namun ternyata ia tidak kuasa melakukannya. Dalam sekejab sekujur tubuh Ginny terpaku ke lantai, seolah terkena kutukan ikat-tubuh-sempurna.
“Bagaimana keadaanmu?” bisik Riddle, mencondongkan wajahnya ke arah Ginny dan tangan kanannya terulur, ujung jari-jarinya yang panjang dan dingin menyentuh wajah Ginny.
“Jangan sentuh aku!” Ginny berteriak marah.
“Tidak akan kulakukan lagi,” serta merta Riddle menarik tangannya, seakan tersetrum aliran listrik. “Toh, darah pengkhianat sama kotor dan menjijikkannya dengan darah lumpur dan muggle di mataku. Aku cuma ingin tahu, masih berapa banyak waktu yang kau miliki. Tapi kurasa tak banyak lagi kehidupan yang tersisa dalam dirimu sekarang. Yah, di saat kau semakin lemah, aku semakin bertambah kuat. Ironis sekali ya, ketika dia datang nanti, dia harus menyaksikan kematianmu seperti ini… dan kematiannya sendiri juga, tentu saja. Yah, kurasa sudah tiba waktunya aku mengucapkan selamat tinggal kepadamu, Ginny Weasley…”
Jadi seperti ini rasanya kematian, batin Ginny, bersamaan dengan pemandangan di sekelilingnya semakin menggelap. Merasakan detik-detik nyawamu merayap perlahan-lahan meninggalkan ragamu. Kesakitan yang luar biasa, tak terperikan… seakan ribuan kutukan Cruciatus dihunjamkan kepadamu… merasakan setiap sel-sel kulit, tulang, dan daging tubuhmu bagaikan terkoyak, tersayat… Air mata panas membanjiri wajah Ginny ketika satu demi satu, bayangan wajah orang-orang yang dicintainya berkelebat dalam benaknya. Selamat tinggal semuanya… Mum, Dad… Ron… Percy… Bill… George… Fred… Charlie… dan… Harry…
Lalu kemudian, wajah Harry tergambar jelas dalam pandangannya, dengan sepasang mata hijaunya yang berkilat menyala, pada saat itulah, sebuah kesadaran yang begitu tiba-tiba datangnya, menghantam Ginny dengan amat telak. Ia tidak boleh mati! …Adalah hal yang paling konyol dan menyedihkan jika ia sampai kehilangan ajalnya di tempat ini, dan jasadnya terkubur berkilo-kilo meter di ruang bawah tanah Hogwarts, terabaikan dan terlupakan… ia harus hidup. Harus! …Entah bagaimana caranya, tetapi ia harus berhasil keluar dari tempat ini dengan selamat untuk menebus semua kesalahan yang telah dilakukannya, dan yang terlebih penting lagi—memberitahukan kepada seluruh dunia siapakah Pewaris Slytherin yang sesungguhnya.
Maka Ginny pun berjuang, sekuat tenaga mempertahankan kesadaran tetap berada di dalam kepalanya. Lalu suara-suara apakah itu? Pada mulanya sayup terdengar di kejauhan, lalu semakin mendekat… raungan yang memekakkan telinga, jeritan panjang mengerikan, lolongan tajam menusuk, kemudian akhirnya… sunyi.
Mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, Ginny akhirnya berhasil membuka kedua matanya. Samar pada awalnya sebelum akhirnya fokus, dilihatnya seraut wajah membungkuk tepat di hadapannya, sepasang mata hijau cemerlang menatapnya penuh kecemasan, hanya beberapa senti di atas wajah Ginny.
“Ginny, jangan mati, please… Ginny, bangun, dong…”
“Har… ry…?”
FIN
© Mela Muggle 09 Juni 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar